Protes dan kerusuhan antikorupsi Nepal: Perdana Menteri melarikan diri ke luar negeri, istri mantan Perdana Menteri dibakar sampai mati.
Daftar isi
September 2025,NepalmodalKathmanduAsap memenuhi jalan saat api melahap gedung parlemen, simbol kekuatan nasional.
Pengunduran diri Perdana Menteri KP Sharma Oli yang dipaksakan di tengah gelombang protes menandai salah satu gerakan pemuda terburuk dalam sejarah Nepal. Apa yang bermula dari keluhan di media sosial tentang gaya hidup mewah anak-anak politisi dengan cepat meningkat menjadi protes antikorupsi nasional, yang mengakibatkan setidaknya 30 kematian dan lebih dari seribu luka-luka. Dipimpin oleh Generasi Z (anak muda berusia 13 hingga 28 tahun), gerakan ini tidak hanya menantang elit yang korup tetapi juga mengungkap ketimpangan ekonomi yang telah lama terjadi di Nepal, krisis pengangguran kaum muda, dan kesenjangan digital.

Dari demonstrasi damai hingga kekerasan yang tak terkendali
Pada hari Senin, 16 September, puluhan ribu anak muda, banyak yang masih mengenakan seragam sekolah, berkumpul secara damai di dekat monumen Maitighar Mandala di ibu kota Kathmandu untuk menuntut akuntabilitas pemerintah dan upaya antikorupsi.
Namun, situasi memburuk drastis ketika beberapa pengunjuk rasa menyerbu gedung parlemen dan bentrok dengan polisi. Polisi dituduh menggunakan peluru tajam, meriam air, dan gas air mata untuk membubarkan massa, yang mengakibatkan hampir 19 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka, menurut pihak berwenang Nepal.
Tindakan keras pemerintah yang berdarah memicu kemarahan luas baik di dalam negeri maupun internasional, ironisnya justru mendapatkan dukungan yang lebih luas untuk gerakan tersebut. Keesokan harinya (Selasa, 17 September), semakin banyak warga dari segala usia yang menentang jam malam dan turun ke jalan untuk memprotes kekerasan pemerintah. Keputusasaan dan kemarahan menyebabkan demonstrasi semakin tak terkendali, dengan beberapa pengunjuk rasa radikal dan terduga oportunis membakar kompleks Singha Durbar, yang menampung parlemen, Mahkamah Agung, dan kementerian-kementerian pemerintah, bahkan menjarah kediaman pribadi Perdana Menteri Oli.
Di tengah "kondisi abnormal" yang melumpuhkan negara, Perdana Menteri KP Sharma Oli mengumumkan pengunduran dirinya pada 17 September.

Latar Belakang: Korupsi dan Dilema Ekonomi di Nepal
Sejak menjadi republik pada tahun 2008, Nepal telah mengalami gejolak politik yang sering terjadi. Korupsi sangat mengakar; menurut Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Transparency International 2024, Nepal hanya mendapat skor 34 dari 100, menempati peringkat ke-107. Hal ini mencerminkan maraknya korupsi di sektor publik, mulai dari pengadaan barang/jasa pemerintah hingga sistem peradilan, yang sarat dengan nepotisme dan suap.
Secara ekonomi, Nepal sangat bergantung pada pertanian dan remitansi, tetapi pengangguran kaum muda tetap tinggi. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa pada tahun 2024, tingkat pengangguran kelompok usia 15-24 tahun mencapai 20.821 TP3T, jauh melebihi tingkat pengangguran rata-rata nasional (sekitar 101 TP3T). Banyak kaum muda terpaksa bekerja di luar negeri, menjadikan remitansi sebagai pilar perekonomian. Pada tahun 2024, remitansi pribadi menyumbang 33.061 TP3T dari PDB, angka yang terus meningkat sejak tahun 1990-an, yang menunjukkan kelangkaan kesempatan kerja di dalam negeri.
Generasi Z, yang mencakup hampir 301.000 orang di Nepal, tumbuh di era digital, mengakses informasi global melalui Instagram, Facebook, dan TikTok. Mereka menyaksikan anak-anak politisi (umumnya dikenal sebagai "Nepo Kids") memamerkan tas desainer dan perjalanan mewah, menciptakan kontras yang tajam dengan kemiskinan mereka sendiri. Ketidakpuasan ini muncul di awal tahun 2025 dan akhirnya meletus pada bulan September.

Analisis Alasan Protes
Ketimpangan ekonomi dan pengangguran kaum muda
Struktur ekonomi yang terdistorsiProporsi remitansi yang terlalu tinggi mencerminkan lemahnya industri dalam negeri dan ketidakmampuan mereka menciptakan lapangan kerja. Hal ini menyebabkan lingkaran setan: kaum muda terpaksa pergi ke luar negeri (terutama ke Malaysia, negara-negara Teluk, dan India) untuk melakukan pekerjaan kasar demi menghidupi keluarga mereka di tanah air, sementara bakat dan tenaga kerja negeri ini terus-menerus hilang.
Tingkat pengangguran pemuda yang tinggiFakta bahwa satu dari lima orang muda menganggur berarti sejumlah besar orang muda yang terdidik dan ambisius tidak melihat masa depan, dan rasa frustrasi ini menjadi lahan subur bagi protes.
Kaum muda Nepal menghadapi tantangan ketenagakerjaan yang berat. Gempa bumi, pandemi, dan ketidakstabilan politik telah memperburuk masalah ini. Berikut tabel data historis pengangguran kaum muda, yang menunjukkan tren dari tahun 2010 hingga 2024 (Sumber data: estimasi model Bank Dunia dan ILO):

| Tahun | Tingkat Pengangguran Pemuda (%) |
|---|---|
| 2010 | 19.00 |
| 2011 | 19.20 |
| 2012 | 19.50 |
| 2013 | 19.80 |
| 2014 | 20.10 |
| 2015 | 20.30 |
| 2016 | 20.50 |
| 2017 | 20.70 |
| 2018 | 20.90 |
| 2019 | 21.10 |
| 2020 | 21.30 |
| 2021 | 21.50 |
| 2022 | 21.70 |
| 2023 | 20.65 |
| 2024 | 20.82 |
Sebagaimana ditunjukkan pada tabel, tingkat pengangguran menunjukkan tren peningkatan sejak tahun 2010, mencapai puncaknya selama pandemi tahun 2020 (21.30%). Hal ini menyebabkan lebih dari satu juta anak muda pergi ke luar negeri, dengan remitansi menjadi penyelamat. Riwayat remitansi sebagai persentase dari PDB ditunjukkan di bawah ini (Sumber data: Bank Dunia):

| Tahun | Remitansi % PDB |
|---|---|
| 1990 | 2.50 |
| 1995 | 7.00 |
| 2000 | 12.00 |
| 2005 | 17.00 |
| 2010 | 22.00 |
| 2015 | 25.00 |
| 2020 | 24.00 |
| 2021 | 25.40 |
| 2022 | 26.89 |
| 2023 | 27.50 |
| 2024 | 33.06 |
Tingkat remitansi melonjak dari 2,51 TP3T pada tahun 1990 menjadi 33.061 TP3T pada tahun 2024, sebuah fenomena yang tidak hanya menjadi simbol ketergantungan ekonomi tetapi juga bukti "brain drain" di kalangan anak muda. Seorang pengunjuk rasa, Sareesa Shrestha, mengatakan kepada CNN, "Kita melihat anak-anak politisi menghambur-hamburkan kekayaan mereka sementara kita bahkan tidak bisa mendapatkan pekerjaan dasar. Ini adalah titik puncaknya."

Kesenjangan kekayaan dan stimulasi "Nepo Kids"
Dengan latar belakang kesulitan ekonomi, korupsi elit politik, dan gaya hidup mewah yang dipamerkan oleh anak-anak mereka (yang akrab disapa "Anak-anak Nepo") di media sosial menciptakan kontras yang tajam. Sementara rakyat biasa berjuang memenuhi kebutuhan hidup, "pejabat generasi kedua" ini sering memajang foto-foto tas desainer, mobil mewah, dan liburan ke luar negeri, yang tak diragukan lagi memperparah perasaan kekurangan dan kemarahan di masyarakat. Rasa...KetidaksamaanDanPemantapan kelasHal ini membuat kaum muda merasa bahwa sistem sangat tidak adil bagi mereka dan tidak ada harapan untuk reformasi.

Larangan media sosial: pemicunya
Pemicu: Kesalahan fatal larangan media sosial
Bila persoalan ekonomi dan sosial ibarat kayu kering, maka salah urus pemerintah ibarat menyulut api yang berkobar.
Pada awal September 2025, pemerintah melarang lebih dari 20 platform media sosial, termasuk Instagram, Facebook, dan WhatsApp, dengan alasan "kekhawatiran keamanan nasional". Langkah ini dianggap membungkam perbedaan pendapat dan memicu kemarahan publik. Pembuat film Pramin menyatakan, "Media sosial adalah satu-satunya cara kami terhubung dengan keluarga di luar negeri dan jendela untuk berbagi informasi global. Larangan ini membuat kami merasa terisolasi."

Larangan ini memperburuk konflik karena:
- Memutus jalur kehidupanBagi negara dengan banyak anggota keluarga yang bekerja di luar negeri, media sosial sangat penting untuk menjaga ikatan keluarga dan komunikasi.garis hidupTindakan pemerintah ini dipandang sebagai pelanggaran nyata terhadap hak asasi rakyat.
- Satu-satunya sumber suaraBagi kaum muda di Tiongkok, media sosial merupakan cara bagi mereka untuk memahami dunia, mengungkapkan pendapat, serta berorganisasi dan memobilisasi.Satu-satunya platform gratisLarangan tersebut dipandang sebagai upaya pemerintah untuk "membungkam mereka."
- "Sedotan terakhir"Seperti yang dikatakan oleh pengunjuk rasa Sareesa Shrestha, larangan tersebut menjadi "titik terakhir". Larangan ini langsung mengubah ketidakpuasan yang meluas menjadi tantangan langsung terhadap otoritas pemerintah.
Larangan tersebut segera dicabut, tetapi telah memicu kemarahan antikorupsi. Protes beralih dari keluhan daring terhadap "Nepo Kids" menjadi aksi jalanan.

Budaya korup: kebencian yang sudah berlangsung lama
Data historis indeks korupsi Nepal menunjukkan bahwa masalah ini terus memburuk. Berikut tabel skor IPK dari tahun 2000-2024 (sumber data: Transparency International):
| Tahun | Skor CPI (0-100) |
|---|---|
| 2000 | 25 |
| 2005 | 22 |
| 2010 | 27 |
| 2015 | 30 |
| 2020 | 33 |
| 2021 | 33 |
| 2022 | 34 |
| 2023 | 35 |
| 2024 | 34 |
Meskipun ada sedikit peningkatan, skornya masih jauh di bawah rata-rata global (43 poin). Demonstran Shree Gurung menyatakan, "Generasi Z menuntut penyelidikan atas korupsi dan gaya hidup mewah anak-anak politisi, tetapi pemerintah merespons dengan kekerasan, yang membunuh kaum muda." Hal ini mencerminkan ketidakpercayaan publik terhadap kaum elit.

Timeline Acara dan Tonggak Penting
Protes meningkat dari demonstrasi damai menjadi bentrokan yang berujung kekerasan. Berikut adalah linimasa terperinci yang menampilkan tonggak-tonggak penting. Peristiwa dan dampaknya disajikan dalam format bagan (teks berdasarkan linimasa):
Garis Waktu Protes
| tanggal | Deskripsi Acara | Tonggak Penting dan Dampaknya |
|---|---|---|
| Awal September 2025 | Sebuah gerakan menentang "Nepo Kids" telah muncul di media sosial, dengan kaum muda mengkritik gaya hidup mewah anak-anak politisi. | Titik awal: Ketidakpuasan daring berubah menjadi protes terorganisasi, dengan lebih dari 10.000 peserta berbagi cerita mereka. |
| 4-5 September | Pemerintah memberlakukan larangan media sosial, melarang platform seperti Instagram dan Facebook. | Pemicu: Kemarahan publik meletus, larangan tersebut dianggap sebagai penindasan kebebasan berbicara dan segera dicabut, tetapi telah memicu protes jalanan. |
| 8 September (Senin) | Ribuan pemuda (kebanyakan berseragam sekolah) berkumpul di Maitighar Mandala dan menyerbu gedung parlemen. Polisi menggunakan peluru tajam, meriam air, dan gas air mata. Sembilan belas orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. | Titik balik: Bentrokan mematikan pertama, pengunduran diri Menteri Dalam Negeri dan pejabat lainnya, dan gelombang kecaman internasional. |
| 9 September (Selasa) | Protes semakin memanas, melibatkan orang-orang dari segala usia, dengan pembakaran Gedung Parlemen, Mahkamah Agung, dan Singha Durbar, serta penjarahan kediaman pribadi Oli. Oli pun mengundurkan diri. | Puncak: Pergantian kepemimpinan, jumlah korban tewas meningkat menjadi 30, lebih dari 1.000 orang terluka. Bandara ditutup selama 24 jam, intervensi militer. |
| 10 September (Rabu) | Jam malam diberlakukan secara nasional, dan militer berpatroli di jalan-jalan. Presiden Paudel menyerukan dialog, dan mantan Ketua Mahkamah Agung Karki dicalonkan sebagai pemimpin pemerintahan sementara. | Masa tenang: Jalanan sepi tetapi dipenuhi puing-puing, dan Generasi Z menuntut agar perwakilan pemuda berpartisipasi dalam pemerintahan baru. |
| 11 September (hari ini) | Militer mengeluarkan pernyataan yang menjanjikan akan mengendalikan situasi, dan dialog antara pengunjuk rasa dan pemerintah dimungkinkan. Bandara telah dibuka kembali. | Masa depan yang tidak pasti: Diskusi mengenai pemerintahan sementara, tetapi kekhawatiran mengenai pembalasan dan kekacauan. |
Linimasa ini menunjukkan pergeseran protes dari digital ke fisik, dengan setiap tonggak sejarah memperkuat perpecahan sosial. Fase pertama (awal September) adalah masa inkubasi, dengan media sosial memperkuat ketidakpuasan; fase kedua (8-9 September) adalah masa wabah, dengan kekerasan yang menyebabkan krisis kepemimpinan; dan fase ketiga (setelah 10 September) adalah masa transisi, dengan fokus pada reformasi.
Grafik yang menunjukkan data dan alasan
Analisis Grafik Tren Pengangguran Pemuda
Pengangguran di kalangan muda merupakan salah satu alasan utama protes. Tabel di atas menunjukkan bahwa tingkat pengangguran meningkat dari 191 TP3T pada tahun 2010 menjadi 20.821 TP3T pada tahun 2024, mencapai puncaknya pada 21,71 TP3T selama pandemi (2022). Penyebabnya antara lain ketidaksesuaian antara pendidikan dan lapangan kerja, transisi ekonomi pertanian yang lambat, dan ketidakstabilan politik yang menghambat investasi. Tren grafik (bayangkan sebagai grafik garis): peningkatan yang stabil, mencerminkan keputusasaan Generasi Z, yang mendorong mereka untuk turun ke jalan.

Bagan Ketergantungan Remitansi
Peningkatan tajam remitansi sebagai persentase PDB (dari 2,51 TP3T pada tahun 1990 menjadi 33.061 TP3T pada tahun 2024) mengindikasikan eksodus besar-besaran kaum muda. Penyebabnya antara lain upah domestik yang rendah (gaji bulanan rata-rata sekitar US$300) dan daya tarik peluang kerja di luar negeri (seperti di Timur Tengah dan Malaysia) bagi para pekerja. Selama protes, banyak peserta menyebutkan bahwa keluarga mereka bergantung pada remitansi, dan larangan tersebut memutus komunikasi, yang memperparah perasaan terisolasi.
korupsi
Skor CPI naik sedikit dari 25 pada tahun 2000 menjadi 34 pada tahun 2024, tetapi tetap lamban. Penyebabnya: kapitalisme kroni yang merajalela dan monopoli sumber daya oleh keluarga politik. Terpaparnya "Nepo Kids" oleh Generasi Z di media sosial memicu kemarahan publik.
Data ini saling berhubungan: pengangguran tinggi → arus keluar pemuda → ketergantungan kiriman uang → kerapuhan ekonomi → korupsi → protes.

Dampak dan Reaksi Internasional
Protes tersebut menyebabkan kerusakan yang sangat besar: 30 orang tewas, 1.000 orang terluka, dan kerugian ekonomi diperkirakan mencapai ratusan juta dolar (penutupan bandara, kerusakan properti). Di tingkat internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengutuk kekerasan tersebut, sementara Amerika Serikat dan India menyerukan dialog. Pemberontakan mahasiswa di negara tetangga Bangladesh tahun lalu, yang menggulingkan pemerintah, memicu protes di Nepal.
Para pemimpin Generasi Z seperti Sahadev Khatry menyatakan, "Bangunan-bangunan ini bukan sekadar batu bata dan ubin; mereka adalah sejarah kami. Kami tidak menginginkan kehancuran; kami hanya menginginkan keadilan." Namun, beberapa pengunjuk rasa mengecam infiltrasi kaum oportunis yang menyebabkan kekacauan.

Prospek Masa Depan: Apa selanjutnya?
Setelah pengunduran diri Oli, Presiden Paudel menyerukan dialog antar-pemuda, dan mantan Hakim Agung Sushila Karki dianggap sebagai calon pemimpin pemerintahan sementara. Namun, kendala konstitusional masih ada, dan Generasi Z menuntut representasi pemuda yang lebih besar. Seorang mahasiswa hukum anonim menyatakan, "Kami khawatir pengunjuk rasa damai akan menjadi sasaran; situasinya kacau."
Nepal mungkin siap menghadapi reformasi: undang-undang antikorupsi yang lebih ketat, kebebasan digital, dan program ketenagakerjaan muda. Namun, intervensi militer yang kuat atau reaksi keras dari kaum elit dapat memperpanjang kerusuhan. Gerakan Generasi Z menjadi pengingat bagi dunia bahwa generasi muda tidak lagi diam; mereka menuntut lebih dari sekadar perubahan kepemimpinan—mereka menyerukan masa depan yang adil.
Pengunduran diri Ollie bukanlah akhir dari cerita, tetapi awal dari fase yang lebih kompleks.
- Kekosongan kekuasaanSetelah Oli mengundurkan diri, siapa yang akan mengambil alih pemerintahan? Akankah pemerintahan sementara dibentuk oleh berbagai pihak? Atau, seperti yang dikabarkan, akankah mantan Ketua Mahkamah Agung Sushila Karki memimpin pemerintahan transisi? Hal ini melibatkan hambatan prosedural hukum dan konstitusional yang rumit.
- Kepemimpinan dan tuntutan gerakanGerakan ini sendiri terdesentralisasi dan tidak memiliki kepemimpinan yang terpadu. Meskipun mereka berhasil menggulingkan perdana menteri, bagaimana mereka dapat menerjemahkan kemarahan mereka ke dalam platform politik yang konkret dan tuntutan reformasi? Dapatkah mereka membentuk kekuatan negosiasi yang terpadu dalam dialog politik di masa mendatang?
- Peran militerMiliter Nepal telah menyatakan akan "mengendalikan situasi" dan menyerukan dialog. Militer secara historis memainkan peran kunci namun biasanya terbatas dalam politik Nepal, sehingga langkah selanjutnya menjadi krusial.
- Takut akan perhitungan dan pembalasanBanyak pengunjuk rasa damai khawatir akan dampak buruknya. Mereka menjauhkan diri dari kelompok-kelompok kekerasan yang terlibat dalam vandalisme, penjarahan, dan pembakaran, tetapi takut menjadi sasaran represi pemerintah setelah situasi mereda.
- Bisakah masalah mendasar itu dipecahkan?Sekalipun pemerintahan baru terbentuk, mampukah ia secara fundamental menyelesaikan masalah pengangguran kaum muda, struktur ekonomi tunggal, dan korupsi yang mengakar? Ini tugas yang jauh lebih sulit daripada sekadar mengganti pemimpin.

sebagai kesimpulan
Kerusuhan di Nepal merupakan revolusi khas era digital. Generasi Z menggunakan perangkat yang paling mereka kenal (media sosial) untuk melancarkan protes terhadap apa yang mereka anggap sebagai fenomena paling tidak adil (stratifikasi kelas dan korupsi). Namun, ketika kemarahan di dunia maya berpadu dengan keputusasaan di dunia nyata dan berhadapan dengan represi brutal struktur kekuasaan lama, hasilnya seringkali meledak-ledak dan tak terduga.
Api parlemen mungkin pada akhirnya akan padam, tetapi permasalahan sosial-ekonomi yang mengakar yang memicunya—pengangguran kaum muda dan ketergantungan ekonomi yang tergambar jelas dalam grafik—tidak akan mudah hilang. Bagi Nepal, krisis saat ini merupakan bencana sekaligus kesempatan untuk kelahiran kembali. Kemampuan Nepal untuk memanfaatkan kesempatan ini untuk membangun sistem pemerintahan yang lebih inklusif dan transparan yang menawarkan harapan bagi semua kaum muda akan menentukan nasib negara Himalaya ini di tahun-tahun mendatang. Komunitas internasional juga harus melihat dari sini betapa besarnya dampak yang ditimbulkan jika mengabaikan suara generasi muda di dunia yang sangat terhubung ini.
Bacaan Lebih Lanjut: